Yaman Butuh Reformasi Hukum Bersama Demi Perdamaian
Situasi hukum di Yaman saat ini menjadi salah satu gambaran paling rumit di kawasan Arab. Pasca pecahnya perang saudara dan pembentukan berbagai faksi kekuasaan, sistem peradilan di negeri itu pun ikut terfragmentasi. Di wilayah selatan, terdapat dua struktur hukum yang berjalan berdampingan namun kerap berbenturan: sistem peradilan Pemerintah Aden versi PLC dan sistem semi-otonom di bawah kendali Southern Transitional Council atau STC.
Pemerintah Aden di bawah Presidential Leadership Council (PLC) mempertahankan keberadaan Mahkamah Agung yang sah secara konstitusi. Mahkamah ini berkedudukan di Aden dan tetap melantik para hakimnya secara formal. Bersama Dewan Kehakiman Tertinggi (Supreme Judicial Council/SJC), pemerintah Aden terus berupaya menghidupkan sistem peradilan nasional di wilayah selatan meski dengan segala keterbatasan akibat konflik dan krisis logistik.
Di sisi lain, STC membentuk peradilan semi-independen. Mereka mendukung Southern Judges Club, lembaga pengawasan peradilan yang lebih berpihak pada agenda politik STC ketimbang pemerintah pusat. Bahkan STC mendirikan pengadilan khusus kriminal di Aden, di mana beberapa kasus politik sensitif ditangani tanpa keterlibatan Mahkamah Agung yang sah. Kondisi ini menambah lapisan baru ketegangan politik dan hukum di Aden.
Beberapa kasus peradilan yang ditangani STC menuai kecaman karena dianggap sebagai alat politik. Sejumlah aktivis dan jurnalis ditahan tanpa proses peradilan wajar. Tidak sedikit pengadilan sipil di Aden dan wilayah sekitarnya yang terpaksa menghentikan operasi akibat tekanan atau ancaman dari milisi keamanan STC. Kondisi ini menjadikan sistem hukum di wilayah selatan semakin timpang dan tidak sinkron dengan standar hukum nasional.
Meski begitu, pemerintah Aden masih berupaya mempertahankan wewenang Mahkamah Agung dan SJC. Pada beberapa kesempatan, presiden PLC Rashad al-Alimi melantik hakim baru untuk menegaskan otoritas legal di Aden. Upaya ini mendapat dukungan internasional sebagai langkah untuk menjaga keberlanjutan konstitusi Yaman di tengah konflik berkepanjangan.
Sementara itu, STC di bawah Aidarus al-Zoubaidi tetap mempertahankan kendali atas institusi hukum lokal. Mereka mengelola Komisi Tertinggi Administrasi Urusan Yudisial di Aden yang bertugas mengatur proses hukum dan pengadilan di wilayah kendali STC. Praktis, hal ini menjadikan Aden memiliki dua sistem peradilan yang berjalan beriringan tanpa sinkronisasi.
Kondisi ini menimbulkan kebingungan hukum bagi warga Aden dan provinsi selatan lainnya. Dalam banyak kasus, terdakwa bisa mendapat keputusan berbeda tergantung sistem hukum mana yang menangani perkara tersebut. Situasi ini membuat perlindungan hukum bagi warga sipil berada dalam posisi rentan dan tidak pasti.
Untuk menyelaraskan dua sistem ini, sejumlah usulan mulai bermunculan dari akademisi dan tokoh masyarakat. Salah satu gagasan yang cukup mendapat perhatian adalah membentuk Dewan Kehakiman Bersama antara pemerintah Aden dan STC. Dewan ini bertugas menyatukan prosedur hukum, menyepakati jenis perkara yang ditangani masing-masing otoritas, serta menjamin standar peradilan yang adil dan transparan.
Gagasan ini dinilai realistis mengingat kedua pihak memiliki kepentingan menjaga stabilitas di wilayah selatan. Tanpa koordinasi hukum yang terintegrasi, ketegangan antara STC dan pemerintah Aden berpotensi memicu konflik baru di masa depan. Integrasi ini juga bisa menjadi prototipe bagi rekonsiliasi nasional bila kelak Houthi di utara juga diajak kembali ke meja perundingan.
Sejumlah lembaga internasional, termasuk PBB dan Amnesty International, telah mendorong agar sistem hukum di Aden diperkuat melalui restrukturisasi bersama. Mereka menyerukan agar pengadilan-pengadilan sipil bisa kembali beroperasi secara independen tanpa intervensi politik dan militer dari faksi manapun, baik STC maupun pemerintah Aden.
Dalam skema rekonsiliasi ini, pengadilan-pengadilan di Aden diharapkan menjadi model bagi pengadilan di provinsi lain, termasuk Hadramaut dan Abyan, yang kini mengalami kerancuan serupa. Standarisasi hukum nasional yang mengakomodasi kekhususan daerah akan menjadi fondasi penting bagi masa depan Yaman sebagai negara federal.
Selain restrukturisasi administratif, sistem anggaran pengadilan juga perlu disatukan. Saat ini, pengadilan-pengadilan di bawah STC memperoleh anggaran tersendiri dari badan fiskal STC, sementara pengadilan pemerintah Aden dibiayai lewat Kementerian Kehakiman di PLC. Jika dibiarkan terpisah, independensi pengadilan tetap rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik.
Para pengamat menilai integrasi peradilan ini bukan sekadar soal administrasi, tapi menyangkut legitimasi hukum di mata rakyat. Selama tidak ada kepastian hukum yang adil dan merata, stabilitas politik Yaman akan sulit tercapai. Masyarakat sipil pun akan terus menjadi korban kekacauan hukum di wilayah selatan.
Upaya ini bisa dimulai dengan membentuk forum rutin antara Mahkamah Agung Aden, perwakilan Southern Judges Club, dan lembaga HAM setempat. Forum ini berfungsi sebagai wadah komunikasi, evaluasi kasus-kasus sensitif, serta penentuan standar prosedur peradilan yang disepakati bersama.
Sebagai bagian dari rekonsiliasi politik, pemerintah PLC dapat mengusulkan penyesuaian Undang-Undang Kehakiman Nasional agar memberi ruang legal bagi pengadilan otonom lokal dengan supervisi pusat. Dengan demikian, STC tetap bisa mempertahankan identitas hukumnya, tapi dalam kerangka hukum nasional yang lebih terstruktur.
Para tokoh hukum di Aden berharap peradilan di wilayah selatan bisa kembali berfungsi normal dan profesional. Kembalinya pengadilan sipil yang adil dan transparan dianggap akan mempercepat proses perdamaian dan rekonsiliasi nasional. Sistem hukum yang kuat menjadi pilar penting bagi kepercayaan publik terhadap pemerintahan di masa depan.
Jika sinkronisasi dua sistem hukum ini berhasil diterapkan, Yaman selatan bisa menjadi percontohan bagi provinsi lain yang juga mengalami ketegangan serupa. Pengalaman rekonsiliasi peradilan ini berpotensi menjadi pintu masuk menuju penyatuan sistem hukum nasional dan penataan ulang negara di era pascakonflik.
Dalam jangka panjang, integrasi sistem hukum antara STC dan pemerintah Aden tidak hanya soal hukum, tapi juga menjadi simbol perdamaian dan persatuan. Dua kekuatan besar di selatan Yaman ini memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa kekuatan hukum dapat menjadi jembatan pemersatu di tengah perbedaan politik dan sejarah panjang konflik bersenjata.
Perbandingan Kasus Suriah dan Yaman
Di tengah berkepanjangannya konflik bersenjata di Suriah dan Yaman, salah satu sektor yang paling terpecah dan sering luput dari perhatian adalah sistem peradilan. Di dua negara Arab ini, kekuasaan politik yang terbelah melahirkan sistem hukum yang berjalan paralel di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kelompok berbeda. Suriah memiliki dualisme antara pengadilan nasional di Damaskus dan sistem peradilan otonom di wilayah utara yang dikuasai Autonomous Administration of North and East Syria (AANES). Sementara itu, Yaman menyaksikan ketegangan hukum antara pemerintah Aden versi Presidential Leadership Council (PLC) dengan sistem peradilan semi-independen yang dikelola Southern Transitional Council (STC) di Aden dan kawasan selatan.
Di Suriah, AANES mendirikan sistem hukum sendiri sejak 2014. Wilayah yang dahulu dikenal sebagai Rojava ini menetapkan Dewan Kehakiman lokal di tiap kanton, lengkap dengan Mahkamah Rakyat dan Komite Perdamaian Komunal. Mereka menggunakan dasar hukum sekuler progresif berbasis kontrak sosial 2014 dan revisi 2016 yang menolak campur tangan dari Damaskus. Seluruh pengangkatan hakim, pengadilan kriminal berat, hingga peradilan keluarga berjalan tanpa otorisasi pemerintah pusat.
Mahkamah Agung nasional Suriah yang berkedudukan di Damaskus, secara formal tetap menganggap wilayah-wilayah di bawah AANES sebagai bagian dari yurisdiksinya. Namun kenyataannya, sejak pasukan pemerintah ditarik dari banyak wilayah utara, tak ada lagi hakim nasional yang bertugas di sana. Wewenang pengadilan nasional berhenti total, dan pengadilan AANES kini menjadi otoritas hukum tunggal di wilayah itu.
Sistem hukum AANES memprioritaskan prinsip kesetaraan gender, pelarangan hukuman mati, dan penyelesaian perkara secara komunitas. Beberapa perkara pidana berat, termasuk kasus terorisme yang ditahan di kamp al-Hol, ditangani langsung oleh Mahkamah Kriminal Tinggi AANES. Meskipun masih diwarnai tantangan profesionalisme dan fasilitas, sistem ini berhasil menjaga ketertiban di kawasan dengan kompleksitas etnis dan agama yang tinggi.
Di sisi lain, Yaman menghadapi situasi yang cukup mirip. Pemerintah Aden di bawah PLC secara konstitusional masih memiliki Mahkamah Agung dan Dewan Kehakiman Tertinggi yang berkedudukan di Aden. Meski banyak pengadilan rusak akibat perang, pemerintah Aden tetap berupaya menjaga eksistensi hukum nasional di wilayah selatan. Hakim-hakim baru pun dilantik oleh presiden PLC untuk mengisi kekosongan jabatan.
Namun, Southern Transitional Council (STC) yang menguasai Aden dan sejumlah provinsi selatan juga membangun sistem peradilan semi-independen. Mereka mengendalikan Southern Judges Club dan membentuk Komisi Yudisial Tertinggi yang mengatur peradilan lokal. Bahkan STC memiliki pengadilan kriminal khusus di Aden yang menangani perkara-perkara sensitif tanpa koordinasi dengan Mahkamah Agung pemerintah Aden.
Sejumlah kasus menunjukkan bagaimana STC menggunakan pengadilan untuk kepentingan politik, termasuk dalam vonis terhadap komandan militer pro-pemerintah dan penahanan aktivis sipil tanpa proses hukum wajar. Tekanan terhadap hakim sipil dan pengambilalihan gedung pengadilan oleh milisi STC sempat menyebabkan penghentian operasional pengadilan sipil di Abyan dan Dhalea.
Kondisi ini menyebabkan dua sistem hukum berjalan bersamaan di Aden dan wilayah selatan. Di satu sisi, pengadilan pemerintah Aden menjalankan prosedur hukum nasional, sementara di sisi lain pengadilan STC berjalan dengan aturan sendiri. Sama seperti di Suriah, warga sipil di Yaman selatan pun kerap bingung harus berurusan dengan hukum mana, karena keputusan bisa berbeda tergantung siapa yang berkuasa di wilayahnya.
Persamaan paling mencolok antara AANES dan STC adalah keduanya mengelola sistem hukum otonom yang sepenuhnya dipisahkan dari pemerintah pusat. Meski berbeda latar belakang ideologi, keduanya lahir dari konflik bersenjata dan memanfaatkan kekosongan otoritas pusat untuk membangun kekuasaan hukum lokal. Namun ada perbedaan penting dalam visi hukum yang mereka jalankan.
AANES menekankan prinsip hukum sekuler progresif, inklusi perempuan, dan pluralisme etnis. Mereka menghapuskan hukuman mati dan membangun sistem pengadilan komunitas untuk penyelesaian konflik lokal. Sebaliknya, sistem hukum STC meski lebih pragmatis, kerap disebut terlalu dipengaruhi kekuatan militer, dan tidak jarang dipakai sebagai alat politik dalam konflik kekuasaan di Aden.
Baik di Suriah maupun Yaman, ketiadaan sinkronisasi hukum antara otoritas lokal dan pemerintah pusat menciptakan ketidakpastian hukum yang panjang. Di Suriah, pembentukan sistem hukum gabungan antara Damaskus dan AANES masih jauh dari realisasi. Upaya dialog hukum kerap buntu karena perbedaan ideologi dan kepentingan politik yang tajam.
Sementara itu di Yaman, ada wacana untuk membentuk Dewan Kehakiman Bersama antara pemerintah Aden dan STC. Langkah ini dianggap realistis untuk meminimalisasi tumpang tindih wewenang hukum di selatan. Namun pelaksanaannya masih terkendala perseteruan politik di tubuh PLC dan kecenderungan STC mempertahankan otonominya.
Jika pemerintah Suriah dan Damaskus berhasil merumuskan kerangka integrasi sistem hukum pascaperang, hal ini bisa menjadi preseden bagi negara-negara pascakonflik lain. Begitu juga di Yaman, rekonsiliasi hukum antara pemerintah Aden dan STC diyakini akan mempercepat proses perdamaian dan membangun kepercayaan publik terhadap keadilan di masa depan.
Ketegangan dualisme hukum di dua negara ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik bersenjata bukan hanya soal politik dan senjata, tetapi juga soal bagaimana membangun kembali tatanan hukum yang kredibel, profesional, dan diakui semua pihak. Sistem hukum yang solid menjadi pondasi utama bagi perdamaian yang berkelanjutan.
Keberhasilan AANES mengelola sistem hukum sendiri selama lebih dari satu dekade tanpa intervensi Damaskus membuktikan bahwa kekuatan hukum lokal bisa bertahan dalam situasi ekstrem. Namun, ketidakterhubungan dengan sistem nasional tetap menjadi titik lemah yang bisa menghambat proses rekonsiliasi nasional ke depan.
Demikian pula di Yaman, keberadaan sistem hukum semi-independen STC bisa menjadi kekuatan penyeimbang selama tetap berada dalam kerangka konstitusi nasional. Jika bisa diharmonisasi, kedua sistem ini berpotensi menjadi model tata kelola hukum otonom di negara-negara Arab pascaperang. Masa depan hukum di kedua kawasan itu kini tergantung pada kemauan politik para pemimpinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar