Mengapa Gaza Tak Bangkit Saat Genosida?
Ketika dunia menyaksikan kehancuran demi kehancuran di Gaza tahun lalu, banyak yang bertanya: ke mana tiga juta penduduk wilayah itu? Mengapa tak ada mobilisasi massa besar-besaran untuk melawan genosida yang dilakukan Israel? Pertanyaan ini terus mengemuka, meski nuansanya 'blaming the victim' terutama ketika laporan-laporan menunjukkan skala kematian dan kehancuran yang begitu luas; bukankah lebih baik mempertahankan diri dengan perang yang toh ujung-ujungnya akan digenosida juga?
Namun jawaban atas pertanyaan itu tidak sesederhana menyoal keberanian atau keinginan rakyat, melainkan berkaitan erat dengan politik, kekuasaan, dan keterbatasan fisik yang nyaris total.
Awalnya, banyak pihak, termasuk di Gaza sendiri, tidak menduga bahwa Israel akan melancarkan serangan dengan skala genosida. Bahkan Hamas, yang selama ini menjadi pemerintahan de facto di wilayah itu, tampaknya menganggap bahwa konflik akan berlangsung dalam skala terbatas seperti tahun-tahun sebelumnya. Di tengah awal krisis, ada sejumlah perundingan yang membuat masyarakat percaya bahwa deeskalasi masih mungkin terjadi. Harapan inilah yang membuat sebagian besar warga memilih bertahan diam, menunggu penyelesaian politik, bukan konfrontasi massal.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Saat serangan Israel semakin brutal, ternyata negara-negara besar seperti Amerika Serikat tidak hanya menyatakan dukungan verbal, tetapi juga mengerahkan pasukan dan aset militernya ke kawasan. Di bawah kepemimpinan Joe Biden, AS melakukan pengerahan militer strategis yang secara langsung menegaskan kepada warga Gaza bahwa tak ada ruang untuk manuver. Dengan kehadiran kekuatan asing ini, kemungkinan mobilisasi warga secara massal untuk perlawanan sipil atau militer praktis terhalangi.
Keberadaan pasukan Amerika di kawasan tak hanya menjadi simbol dukungan terhadap Israel, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengawasan dan pembatas ruang gerak warga Palestina. Dalam situasi seperti ini, rakyat sipil yang tidak memiliki senjata, strategi, atau organisasi militer pun menjadi lumpuh. Perlawanan bukan sekadar soal semangat atau jumlah, tetapi soal infrastruktur dan ruang untuk bertindak, dan itu semuanya hancur.
Saat ini, hampir semua bangunan di Gaza telah menjadi puing. Rumah, sekolah, masjid, rumah sakit—semuanya dihantam. Sekitar sepuluh persen dari total populasi telah meninggal dunia, baik secara langsung karena serangan maupun tidak langsung akibat luka-luka atau kekurangan medis. Dalam situasi seperti ini, upaya mobilisasi massal tidak hanya sukar—ia nyaris mustahil. Bagaimana bisa satu komunitas yang hampir seluruhnya terusir dan terluka mengorganisir perlawanan besar-besaran?
Seandainya bahkan hanya sepuluh persen dari penduduk Gaza dapat dimobilisasi, maka deteren atau efek penghalang terhadap agresi militer Israel bisa saja terbentuk. Tapi syarat-syarat untuk itu tidak tersedia. Selain karena infrastruktur yang hancur, mobilisasi rakyat membutuhkan kepercayaan terhadap kepemimpinan, dan itu pun menjadi persoalan tersendiri. Banyak warga Gaza sendiri yang tidak sepenuhnya mendukung Hamas.
Perlu diingat bahwa Hamas, dalam usahanya mempertahankan kekuasaan, telah melucuti banyak senjata dari kelompok-kelompok sipil lain. Warga biasa, bahkan yang punya kemampuan teknis atau keinginan untuk melawan, tidak lagi memiliki alat untuk itu. Senjata bukan hanya tak tersedia, tetapi juga menjadi hal yang diawasi ketat oleh pemerintahan Hamas sebelum serangan genosida dimulai.
Dengan latar ini, banyak warga Gaza berada dalam situasi dilema ganda: mereka terjepit oleh agresi dari luar, dan dibatasi oleh kekuasaan internal yang tak menyediakan jalan perlawanan sipil yang luas. Hamas mengontrol sebagian besar jalur komunikasi dan distribusi bantuan, menjadikan ruang organisasi independen sangat sempit. Tidak semua warga merasa bahwa Hamas adalah representasi terbaik dari aspirasi mereka.
Sementara itu, warga yang hendak melakukan perlawanan atau mobilisasi menghadapi ancaman serangan udara setiap saat. Dalam kondisi seperti itu, berkumpul dalam jumlah besar bukan hanya tidak efektif, tetapi bisa berujung maut. Bahkan sekadar berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain di Gaza memerlukan pertimbangan nyawa. Rumah sakit dan tempat pengungsian menjadi target, membuat mobilisasi berarti mengantar diri pada kematian.
Tidak adanya mobilisasi bukan berarti warga Gaza pasrah atau tidak peduli terhadap nasib kolektif mereka. Banyak dari mereka mencoba bertahan hidup dengan segala cara, melindungi keluarga, dan mencari celah untuk keluar dari kepungan. Dalam situasi genosida, bertahan hidup menjadi bentuk perlawanan tersendiri, meski tanpa spanduk dan arak-arakan.
Harapan sebagian warga kala itu sempat tumbuh lewat pernyataan-pernyataan komunitas internasional yang menyerukan gencatan senjata. Tapi kenyataannya, desakan itu tak mampu membendung operasi militer yang semakin membabi buta. Setiap suara protes dari luar Palestina seolah dibungkam oleh veto di meja Dewan Keamanan dan pengiriman senjata oleh negara-negara besar.
Bahkan solidaritas internasional yang sempat menyala lewat media sosial tak memiliki pengaruh nyata di medan perang. Warga Gaza tahu bahwa mereka sendirian. Dalam konteks seperti itu, mereka mencoba menghindari pengorbanan yang sia-sia, bukan karena mereka tidak ingin melawan, tetapi karena peluang untuk menang benar-benar tidak ada.
Sekarang, setelah lebih dari satu tahun berlalu, luka-luka itu belum juga sembuh. Generasi anak-anak yang kehilangan rumah, orang tua, dan masa depan tumbuh dalam trauma. Mereka menyaksikan bagaimana satu kota dapat dilenyapkan dari peta tanpa perlawanan massal yang terorganisir. Ini bukan karena rakyat tidak berani, tetapi karena sistem global telah mengunci semua jalan keluar.
Ke depan, pembicaraan tentang Gaza tidak bisa hanya berkisar pada siapa yang bersalah, tetapi harus mencakup juga bagaimana warga sipil bisa dilindungi saat semua pilar kekuatan mereka dihancurkan. Jika dunia benar-benar ingin menghindari tragedi serupa, maka harus disediakan ruang nyata bagi perlawanan sipil dan perlindungan rakyat biasa.
Tanpa perlindungan itu, genosida bukan hanya mungkin terjadi lagi, tetapi akan berlangsung dalam diam, tanpa mobilisasi, dan tanpa perlawanan, sementara dunia bertanya-tanya: mengapa mereka tak bangkit?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar