Warisan Federasi dan Jalan Berbeda Yaman Selatan dan UEA - Berita Nassau

Post Top Ad

Warisan Federasi dan Jalan Berbeda Yaman Selatan dan UEA

Warisan Federasi dan Jalan Berbeda Yaman Selatan dan UEA

Share This

Sejarah Yaman Selatan pada era kolonial Inggris kembali menjadi sorotan seiring memanasnya konflik politik di wilayah selatan negara itu. Banyak pengamat menilai dinamika hari ini tidak bisa dilepaskan dari warisan federasi yang pernah dibentuk London pada 1950–1960-an, ketika Aden dan Hadramaut sama-sama berada di bawah payung kekuasaan Inggris, namun berakhir dengan nasib yang sangat berbeda dibanding negara-negara Teluk seperti Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.

Pada akhir 1950-an, Inggris membentuk Federation of South Arabia yang berpusat di Aden. Federasi ini menyatukan sejumlah kesultanan dan emirat lokal di wilayah barat dan tengah Yaman Selatan, dengan tujuan menciptakan struktur politik stabil untuk menghadapi tekanan nasionalisme Arab yang sedang bangkit.

Di sisi timur, Inggris menerapkan pendekatan berbeda terhadap Hadramaut dan Mahra. Wilayah ini masuk dalam Eastern Aden Protectorate, yang secara de facto berfungsi sebagai federasi longgar di bawah pengaruh Inggris, tanpa integrasi penuh ke dalam struktur politik Aden. Pemisahan ini menciptakan dua jalur perkembangan yang tidak sepenuhnya sejalan.

Secara formal, kedua wilayah itu masih sama-sama berada di bawah kontrol Inggris hingga akhir 1960-an. Namun, karakter kolonialisme yang diterapkan London di Aden berbeda jauh dengan pendekatan di Hadramaut maupun di Teluk Arab. Aden dikelola sebagai koloni langsung, bukan sekadar protektorat.

Sebagai koloni, Aden mengalami urbanisasi cepat. Pelabuhan internasionalnya melahirkan kelas buruh, serikat pekerja, pers, dan elit intelektual yang terpapar gagasan nasionalisme radikal dan sosialisme. Kota ini menjadi pusat politik, bukan hanya pusat dagang.

Sebaliknya, di Hadramaut dan juga di negara-negara Teluk, Inggris mempertahankan kekuasaan elite tradisional. Kesultanan dan keluarga penguasa lokal tetap memegang kendali atas masyarakatnya, dengan intervensi kolonial yang relatif minimal dalam kehidupan sosial dan politik sehari-hari.

Perbedaan ini menjadi krusial ketika gelombang dekolonisasi melanda dunia Arab. Di Yaman Selatan, perlawanan terhadap Inggris berubah menjadi perang bersenjata. Gerakan seperti National Liberation Front (NLF) dan FLOSY melancarkan operasi gerilya yang memaksa Inggris angkat kaki secara tergesa-gesa pada 1967.

Proses ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Teluk Arab. Di Qatar, Bahrain, dan Trucial States, Inggris mundur melalui negosiasi elite, bukan melalui perang revolusioner. Transisi kekuasaan berlangsung relatif damai, dan struktur federasi atau monarki justru dilestarikan.

Kemenangan gerakan bersenjata di Yaman Selatan membawa konsekuensi ideologis. Negara baru yang lahir, Republik Demokratik Rakyat Yaman, memilih jalan sosialisme dan bersekutu dengan Uni Soviet. Federasi dan kesultanan yang pernah ada dipandang sebagai simbol kolonialisme dan dibubarkan total.

Hadramaut yang sebelumnya relatif otonom pun ditarik masuk ke dalam negara terpusat dari Aden. Integrasi itu berlangsung tanpa konsensus lokal, menciptakan rasa keterpaksaan yang membekas lama di kalangan elite dan masyarakat Hadrami.

Faktor ekonomi juga memperdalam perbedaan nasib. Negara-negara Teluk memasuki era ledakan minyak yang memungkinkan pemerintah membeli stabilitas melalui kesejahteraan. Di Yaman Selatan, ketiadaan sumber daya besar membuat negara bergantung pada bantuan eksternal dan rentan konflik internal.

Ketika Inggris meninggalkan Teluk, mereka meninggalkan negara-negara dengan struktur kekuasaan tradisional yang utuh. Di Aden, Inggris meninggalkan ruang kosong kekuasaan yang segera diisi oleh kelompok revolusioner dengan visi ideologis radikal.

Inilah titik balik yang menjelaskan mengapa federasi di Teluk bisa bertahan dan berevolusi, sementara federasi di Yaman Selatan justru dihancurkan oleh penguasa baru. Dua wilayah yang sama-sama berada di bawah Inggris akhirnya melangkah ke arah berlawanan.

Warisan ini terasa kembali hari ini ketika Dewan Transisi Selatan atau STC mengusung agenda negara Yaman Selatan merdeka. Hadramaut dan Mahra, yang pada masa kolonial tidak sepenuhnya terintegrasi dengan Aden, menunjukkan resistensi kuat terhadap dominasi pusat selatan.

Bagi banyak Hadrami, proyek persatuan selatan mengingatkan pada masa ketika otonomi mereka dihapus pasca-1967. Kekhawatiran itu diperkuat oleh memori sejarah tentang bagaimana federasi lama dibubarkan secara paksa.

STC, di sisi lain, berusaha mengulang hasil politik yang mirip negara Teluk: entitas selatan stabil, diakui, dan layak secara ekonomi. Namun metode yang digunakan—ekspansi keamanan dan kontrol teritorial—mengingatkan sebagian pihak pada sentralisme era Aden sosialis.

Kontradiksi ini membuat konflik di Hadramaut dan Mahra menjadi sangat sensitif. Wilayah-wilayah tersebut tidak menolak konsep otonomi atau federasi, tetapi menolak integrasi tanpa jaminan keseimbangan kekuasaan dan pengakuan identitas lokal.

Sejumlah analis menilai kegagalan memahami perbedaan sejarah inilah yang membuat proyek politik selatan selalu rapuh. Mengabaikan konteks kolonial dan pascakolonial sama artinya mengulang kesalahan lama dengan aktor baru.

Dalam konteks itu, krisis Yaman hari ini bukan sekadar konflik kontemporer, melainkan gema dari keputusan yang diambil lebih dari setengah abad lalu. Federasi, revolusi, dan dekolonisasi masih membentuk arah politik di selatan negara itu.

Selama warisan sejarah ini tidak diakui dan dikelola secara inklusif, upaya membangun tatanan baru di Yaman Selatan akan terus dibayangi ketegangan. Jalan yang ditempuh Teluk Arab dan Yaman Selatan menunjukkan bahwa cara Inggris pergi sama pentingnya dengan siapa yang mengambil alih setelahnya.

Tidak ada komentar:

Post Bottom Ad

Pages