Pengakuan tiba-tiba Israel terhadap Somaliland memicu gelombang kemarahan dan kekecewaan di berbagai kalangan, terutama di dunia Arab, Afrika, dan komunitas pendukung Palestina. Banyak pihak menilai langkah tersebut bukan sekadar manuver diplomatik biasa, melainkan bagian dari skema geopolitik jangka panjang yang baru sekarang tampak ke permukaan.
Reaksi keras itu muncul karena publik merasa peristiwa ini tidak terjadi secara spontan. Berbagai indikasi menunjukkan bahwa pengakuan tersebut telah dirancang sejak lama, melalui jalur diplomasi senyap, kerja sama keamanan, hingga kalkulasi strategis di kawasan Tanduk Afrika dan Laut Merah.
Kemarahan ini diperkuat oleh kesadaran mendadak bahwa isu Somaliland tidak berdiri sendiri. Pengakuan Israel dinilai terhubung dengan dinamika konflik Palestina, terutama munculnya kembali wacana pemindahan penduduk Gaza ke luar wilayahnya sebagai solusi geopolitik ekstrem.
Bagi banyak orang, dugaan rekayasa demografi ini menyentuh ranah yang lebih sensitif. Isunya tidak lagi soal batas negara, melainkan tentang nasib suatu bangsa yang dikhawatirkan akan “dipindahkan” demi kepentingan kekuatan besar dan stabilitas regional versi mereka.
Di tengah situasi itu, sikap diam Uni Emirat Arab dan Ethiopia justru menjadi sumber kekesalan baru. Keduanya dipandang memiliki kepentingan strategis langsung di kawasan, sekaligus relasi yang cukup dekat dengan dunia Arab dan Afrika Muslim.
Diamnya dua aktor regional tersebut ditafsirkan bukan sebagai netralitas, melainkan sebagai isyarat keterlibatan tidak langsung. Persepsi ini, benar atau salah, telah memperkuat rasa dikhianati di kalangan publik yang sebelumnya masih berharap adanya keseimbangan moral di kawasan.
Secara psikologis, fenomena ini mencerminkan apa yang oleh pengamat disebut sebagai “kejutan pengakuan politik”. Publik seolah tersadar bahwa peta geopolitik yang selama ini mereka pahami ternyata telah lama digambar ulang tanpa keterlibatan mereka.
Kemarahan yang muncul bukan hanya diarahkan kepada Israel sebagai pihak yang mengakui Somaliland. Justru, kecaman paling tajam kerap diarahkan kepada aktor-aktor regional yang dianggap satu barisan secara historis, tetapi kini dinilai memilih kepentingan pragmatis.
Fenomena ini juga menandai runtuhnya hierarki moral yang selama ini hidup dalam kesadaran publik. Palestina diposisikan sebagai korban utama, sementara negara-negara Muslim dan Afrika diharapkan menjadi penyeimbang. Ketika harapan itu tak terpenuhi, kekecewaan berubah menjadi amarah.
Media sosial berperan besar dalam mempercepat proses ini. Informasi yang sebelumnya terpisah-pisah kini terkoneksi, membentuk narasi besar tentang konspirasi, perencanaan jangka panjang, dan kompromi moral di tingkat elite.
Para analis menilai kemarahan ini sebagai bentuk “outrage tertunda”. Selama bertahun-tahun, berbagai sinyal telah muncul, tetapi baru sekarang publik mengaitkannya dalam satu rangkaian peristiwa yang utuh.
Dalam konteks Somaliland, pengakuan Israel juga dipahami sebagai preseden berbahaya. Banyak pihak khawatir langkah ini akan mendorong fragmentasi lebih lanjut di Afrika, sekaligus melemahkan prinsip kedaulatan yang diakui secara internasional.
Di sisi lain, ada pula kekhawatiran bahwa kawasan Tanduk Afrika akan semakin terpolarisasi. Pengakuan tersebut berpotensi memicu persaingan baru antaraktor regional dan global, dengan masyarakat lokal sebagai pihak yang paling terdampak.
Bagi komunitas yang simpati terhadap korban genosida Palestina di Gaza oleh Israel, isu ini terasa sangat personal. Setiap perkembangan geopolitik kini dibaca melalui kacamata ancaman eksistensial, terutama setelah perang di Gaza memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap warga sipil.
Kemarahan kolektif ini juga melahirkan sinisme yang makin luas. Banyak orang mulai meragukan narasi solidaritas, persaudaraan kawasan, dan komitmen moral yang selama ini digaungkan dalam forum-forum resmi.
Namun, kemarahan semacam ini bukan tanda ketidaktahuan massa. Justru sebaliknya, ini menunjukkan meningkatnya kesadaran publik terhadap politik tingkat tinggi yang sebelumnya hanya dibicarakan di kalangan elite.
Pertanyaannya kini adalah ke mana arah kemarahan ini akan bergerak. Apakah akan mereda seiring berjalannya waktu, atau justru berkembang menjadi tekanan politik yang lebih terorganisir di tingkat regional dan internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa kemarahan kolektif yang lahir dari rasa dikhianati jarang menghilang begitu saja. Ia bisa berubah bentuk, dari protes wacana menjadi sikap politik yang lebih keras dan sulit diprediksi.
Dalam konteks global yang semakin multipolar, peristiwa pengakuan Somaliland oleh Israel menjadi pengingat bahwa keputusan diplomatik tidak pernah berdampak sempit. Ia selalu beresonansi hingga ke lapisan emosi dan identitas masyarakat luas.
Saat ini, publik masih berada pada fase memahami dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Namun satu hal jelas, kepercayaan terhadap aktor-aktor regional telah mengalami retakan serius.
Pengakuan ini bukan hanya soal Somaliland. Ia telah berubah menjadi simbol dari krisis kepercayaan geopolitik yang lebih luas, di mana banyak orang merasa tertinggal dan dikesampingkan dalam penentuan masa depan kawasan mereka sendiri.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar